Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML Atas

Berkunjung ke Makam Dalai Lama

Berkunjung ke Makam Dalai Lama

Berkunjung ke Makam Dalai Lama - Sebetulnya letaknya tidak terlalu jauh. Tetapi Tibet rasanya tidak terjangkau, karena jarang ada paket wisata ke sana. Namun bulan September tahun lalu, Irawati mendapat kesempatan untuk menginjak "negeri atap dunia" itu.

Makam Dalai Lama, Potala
Makam Dalai Lama, Potala. img/tibet.prm.ox.ac.uk

Waktu menuju Cina hati saya sudah was-was, teringat pengalaman ketika melancong ke sana tahun 1993. Pesawat eks Rusia yang membawa kami ke sana kemari sudah tua dan sering terlambat beberapa jam. Bahkan pernah di-cancel 24 jam dan keesokan harinya para penumpang harus berebut tempat. Ternyata enam tahun kemudian keadaan sudah jauh berubah.

Kami harus menginap di Chengdu sebelum terbang ke Lhasa, ibukota Tibet. Ada tiga penerbangan ke sana setiap hari selang lima menit. Sedianya kami naik pesawat terakhir, pukul 07.00 pagi, namun hari itu penerbangan ditangguhkan karena cuaca.

Lhasa dilihat dari Biara Pabonka
Lhasa dilihat dari Biara Pabonka

Akhirnya, pesawat Airbus 340-300 China Southern Airlines yang penuh oleh penumpang pun take-off. Selain orang setempat yang kelihatan dari pakaian tradisionalnya, juga tampak banyak turis bule. Setelah penerbangan beberapa jam, kami mendarat di lapangan terbang Kongka yang terletak 3.700 m di atas permukaan laut. Ini merupakan lapangan terbang kedua tertinggi setelah Bandara Panta yang terletak di sebelah timur Tibet.

Gonggar airport
Gonggar airport

Sebelumnya, kami sudah diberi tahu supaya jangan terlalu bersemangat dan "boros tenaga" karena udara di Tibet tipis. Bisa mengakibatkan mual atau pusing. Karena itu kami dianjurkan membeli oksigen dalam tabung yang bentuknya mirip tabung Baygon dengan penutup mulut. Harganya 40 RMB untuk tabung yang agak besar. Yang kecil 30 RMB. Waktu itu AS $ 100 sama dengan 830 RMB.

Matahari di Tibet sangat menyilaukan, sehingga banyak orang tua yang mengalami kesulitan dengan matanya. Tak heran kalau pemandu lokal yang menjumpai kami mengenakan kacamata hitam pekat. Cian Mij, pemandu itu, adalah wanita suku asli Tibet, tinggi semampai dan tampak sangat modis dengan gaun hitam panjang serta sepatu platform. Kukunya dicat coklat, ia pun mengenakan sweater bagus. Ia bercerita itu hadiah dari seseorang di Bavaria. Cian Mij pernah mendapat beasiswa setahun ke Jerman dan menggunakan kesempatan untuk keliling Eropa. Tak heran bahasa Inggrisnya bagus dan pengetahuan sejarahnya juga lengkap.

Ternyata jarak antara bandara dengan Kota Lhasa 100 km atau dua jam perjalanan. Sepanjang jalan hampir tidak ada bangunan atau manusia. Hanya pemandangan indah dan sering jalanan menyusuri sungai. Kami terpaksa buang air kecil di semak-semak pinggir jalan.

Bus juga berhenti sekali di tempat dengan pemandangan bagus dan ada gambar Buddha pada karang di pinggir jalan. Ada juga tiang yang dililit dengan kain warna-warni. Namanya Prayer Cloth, lima warna: putih melambangkan awan, merah melambangkan api, biru untuk langit, kuning untuk tanah, dan hijau melambangkan air.

Penduduk asli Lhasa berjumlah 130.000 orang dan banyak yang masih mengenakan pakaian tradisional. Namun kalau mau difoto, biarpun dengan lensa tele, mereka langsung menghindar.

Penduduk Lhasa
Penduduk Lhasa

Penduduk Lhasa
Penduduk Lhasa. img/yowangdu.com

Pada abad IX penduduk Tibet berjumlah 20 juta jiwa, tetapi sekarang tinggal dua juta saja. "Sedangkan militer Cina jumlahnya lebih dari dua juta, sebagian untuk menjaga perbatasan Tibet yang sangat panjang," kata Cian Mij. Tibet memang telah 40 tahun jadi sengketa. Cina bersikeras menganggap Tibet sebagai wilayahnya dengan otonomi khusus, namun gerakan perlawanan yang menghendaki kemerdekaan Tibet - di bawah pimpinan Dalai Lama yang hidup dalam pengasingan di Dharmsala, India - tak pernah surut.

Uang mancanegara bertebaran

Hari pertama di Lhasa kami isi dengan kunjungan ke Istana Potala yang mulai dibangun 1.300 tahun yang lalu hanya dengan semen (mortar), kayu, dan batu. Kami masuk dari belakang supaya tidak usah naik tangga. Potala yang bertingkat 13 dibangun pada sisi bukit. Untuk menanjak ke pintu belakang saja, bus yang berkapasitas 25 orang itu sudah terengah-engah, sering berhenti.

Istana Potala
Istana Potala

Potala terbagi dalam dua bagian, istana putih dan istana merah yang tampak dari warnanya. Istana putih digunakan untuk peristiwa politik dan religius penting seperti penobatan Dalai Lama (sebutan untuk pemimpin Tibet), sedangkan istana merah terutama ada stupa makam (funerary) para Dalai Lama, kuil, dan tempat suci. Kami mengunjungi bagian merah.

Total ada delapan stupa makam, masing-masing makam Dalai Lama kelima sampai ketigabelas. Stupa itu bentuknya mirip satu sama lain. Bedanya hanya dalam ukuran. Stupa Dalai Lama kelima yang dibangun tahun 1690 yang paling besar. Tingginya 14,85 m. Seluruhnya tertutup dengan lembaran emas dan penuh dengan batuan jade (batu lumut), agate (batu akik), dan mutiara. Total dihabiskan 110.000 ons emas, tidak termasuk batu permata.

Stupa Dalai Lama
Stupa Dalai Lama

Kalau Dalai Lama meninggal dunia, jenazahnya diurapi dengan garam untuk menyerap kelembapan, kemudian diberi parfum. Kalau sudah kering, dimasukkan ke dalam stupa, disebut pemakaman stupa.

Di dalam Potala kami tidak boleh membuat foto. Di situ bertebaran uang mancanegara sumbangan dari para pengunjung. Salah seorang dari rombongan kami menaruh lembaran 50 ribuan, satu-satunya uang Indonesia yang tampak. Uang sangat banyak, dari pelbagai macam negara dengan beraneka nilai. Orang yang tergiur bisa saja mengambilnya, meski bisa dijatuhi sanksi jika ketahuan oleh penjaga yang sesekali muncul dari sela-sela dinding.

Chogyal Drupug (gua raja religius) merupakan kuil mirip gua. Konon dibangun untuk memperingati meditasi Songtsan Gampo (629 - 650) waktu masih muda di bukit merah. Gampo adalah tokoh penting dari dinasti Tupan yang pernah memimpin Tibet. Pada tahun 633 ia menunjuk Lhasa sebagai ibukota Tibet. Di antara ribuan bagian dari Potala, Chogyal Drupug yang dibangun dalam abad VII merupakan bagian paling tua. Menurut catatan sejarah, Potala mempunyai 999 kamar waktu dibangun 1.300 tahun lalu. Ditambah Chogyal Drupug, semua menjadi 1.000 kamar.

Goa Raja Dharma
Goa Raja Dharma

Selain stupa para Dalai Lama, kami juga melihat ruangan dengan patung Tiong Cha Ba, tempat Dalai Lama menemui tamu, bersemedi, dan tidur. Potala merupakan tempat tinggal musim dingin Dalai Lama.

Hari berikutnya, yang pertama kami kunjungi ialah Biara Drepung yang terletak di sebuah bukit dan dibangun tahun 1416. Di situ ada beberapa universitas dan biara yang dihuni lebih dari 7.700 biksu. Mereka dimasukkan waktu umur lima tahun. Pada umur 18 mereka boleh menentukan mau terus jadi biksu atau membentuk keluarga. Konon di situ ada ruang tidur berkapasitas 500 orang.

Kemudian kami berkunjung ke Norbulingka, taman permata, istana musim panas Dalai Lama. Letaknya di pinggir sungai Kyuchu, 2 km sebelah barat Kuil Jokhang yang dikelilingi jalan Parknor yang dipenuhi penjual cinderamata. Selain pedagang kaki lima, di dalam kompleks yang sama ternyata juga ada kios-kios seperti Pasar Pagi Jakarta, menjual barang yang sama dengan dagangan di Parknor namun harganya lebih murah.

Dalai Lama selalu memperluas Norbulingka

Waktu masuk Norbulingka, yang pertama kami lihat ialah jam mati yang menunjukkan pukul 09.00. Konon jam itu semula menunjukkan pukul 12.00, saat ketika Dalai lama mengungsi ke India pada 17 Maret 1959. Istana memberi kesan terang dan terbuka seperti rumah zaman sekarang. Sangat berbeda dengan Potala yang gelap dan pengap.

Norbulingka
Norbulingka

Hal itu mudah dimengerti karena Norbulingka baru mulai dibangun tahun 1750-an pada periode Dalai Lama ketujuh, Kalsang Gyatso. Sebelumnya, Norbulingka hanya tanah kosong yang ada sumber airnya. Kalsang Gyatso yang sakit-sakitan sering ke sana untuk mendapat penyembuhan. Kemudian dibuat bangunan untuk tempat peristirahatan, disebut Uyap Podrang. Tahun 1751 Dalai Lama ketujuh membangun istana pertama dekat Uyap Podrang yang diberi nama Kalsang Podrang sesuai dengan namanya sendiri. Itulah cikal bakal Norbulingka.

Dalam setiap periode kepemimpinan, Dalai Lama selalu memperluas Norbulingka. Pada zaman Dalai Lama kedelapan, Jampal Gyatso (1762 - 1804), antara lain dibuat lapangan untuk upacara keagamaan serta ruang baca.

Tahun 1954 Norbulingka diperluas lagi dengan dibangunnya istana Taktan Migyur Podrang yang juga disebut istana baru yang kami kunjungi. Di dalamnya ada kuil, kamar tidur, ruang baca, dan tempat suci untuk dewa-dewa pelindung yang dindingnya penuh lukisan. Salah satu sisi dinding banyak lukisan kecil berurutan tentang sejarah Tibet yang dulu dihuni kera (orang Tibet percaya mereka keturunan kera). Sementara pada sisi berhadapan ada kisah perjalanan Dalai Lama ke-14, Tenzin Gyatso, waktu berkunjung ke Beijing lewat Kham-Tibet Highway yang baru dibuka. Ikut serta seorang pelukis terkenal yang mengabadikannya dalam gambar dinding.

Tujuannya untuk mengikuti kongres nasional Rakyat Cina. Selain Beijing ia juga mampir di tempat-tempat lain. Di antara banyak lukisan, yang paling mengesankan ialah lukisan terakhir yang menggambarkan Dalai Lama berdiri berdampingan dengan Mao Zedong, sementara Zou Enlai berdiri di pinggir. Selain mereka, ada juga Jenderal Zu Ji dan Er Lung.

Kamar tidur Dalai Lama tampak terang. Kamar mandinya dikunci, tetapi konon sudah modern seperti kamar mandi ibunya yang sebagai wanita tidak boleh masuk istana tetapi mendapat tempat tidur dan toilet terpisah.

Luas istana tak kurang dari 360.000 m2 dengan taman luas yang ditanami pohon cemara, cypress (sejenis cemara juga), dan banyak pohon lainnya. Kecuali macam-macam bunga, konon juga ada binatang langka seperti beruang, tetapi tidak kami jumpai.

Ada salah satu bagian yang dinamai Kalsang Podrang. Tempat ini menjadi ajang pendidikan Dalai Lama berikut sampai menginjak usia dewasa (18 tahun). Belajar sejarah Tibet dan agama, menerima audiensi, juga memberi berkah.

Setelah Dalai Lama berkuasa, Norbulingka dipakai sebagai istana musim panas dan Potala jadi istana musim dingin. Setiap tahun dari pertengahan bulan ketiga sampai permulaan bulan kesepuluh Dalai Lama tinggal di Kalsang Podrang untuk membaca teks agama, belajar sejarah, membaca dokumen, mengangkat pejabat, serta mengadakan diskusi mengenai soal-soal kenegaraan. Di waktu senggangnya ia mencari hiburan di taman.

Tubuh dikuliti, daging dipisahkan dari tulang

Sera Monastery
Sera Monastery

Yang terakhir kami kunjungi di Lhasa ialah Sera Monastery yang didirikan tahun 1419 oleh tokoh dari Tsongkapa murid Dalai Lama, Jamchen Choje. Letaknya tidak terlalu jauh dari jalan besar, tetapi tangganya terjal sekali. Di situ pemandu menceritakan tentang sky burial (upacara "penguburan di langit") yang dilakukan di pegunungan dekat daerah Biara Sera itu. Jenazah dicacah-cacah, dibawa ke pegunungan untuk dimangsa burung mitos sebesar manusia yang tidak pernah dilihat orang.

Ilustrasi sky burial
Ilustrasi sky burial

Dalam buku Tibet, The Land and the People (1988) karya Tiley Chodag ceritanya lebih terinci. Cara pemakaman seperti itu disebut celestial burial. Kalau ada orang meninggal, jenazahnya ditaruh di pojok ruangan dan ditutupi kain putih. Tidak boleh di atas ranjang atau barang lain.

Orang Buddha percaya, kalau orang meninggal, roh meninggalkan tubuh. Untuk melepaskannya, jenazah ditaruh di atas batu bata yang dikeringkan di bawah terik matahari. Pada saat pemakaman, batu-batu itu dibuang di perempatan jalan bersama rohnya. Upacara itu makan waktu tiga sampai lima hari, diiringi doa-doa biksu sepanjang siang dan malam agar roh segera "lepas".

Selama itu keluarga dan handai taulan berdatangan untuk menyatakan dukacita sambil membawa minuman barley beer, selendang upacara, mentega, dupa, dan kadang-kadang amplop berisi uang. Selendang ditujukan kepada orang yang meninggal, barang-barang lain untuk keluarganya. Kalau ada kematian dalam keluarga, tidak ada yang boleh mencuci muka, menyisir rambut, atau mengenakan perhiasan apa pun. Tertawa, bicara keras, menyanyi, dan menari dilarang supaya nyawa bisa menuju surga dengan tenang.

Di depan pintu rumah ditaruh kuali tanah merah dikalungi seuntai wol putih atau selendang upacara. Di dalam kuali itu ada "dupa tsampa" yang terdiri atas darah, daging, lemak, konsentrat susu, keju, dan mentega yang terus ditambah supaya api tetap menyala. Ini sebagai pengganti makanan yang dipersembahkan kepada roh yang meninggal. Menurut orang Tibet, roh kalau sudah keluar dari tubuh kehilangan kemampuan berpikir dan tidak bisa menemukan makanan biasa. Karena itu yang hidup harus "memberi makan" dengan cara menjaga agar dupa tsampa itu tetap menyala.

Setelah waktu tertentu, keluarga memilih hari pemakaman. Upacara biasanya dilakukan subuh, sebelum matahari terbit. Pertama jenazah dilepaskan pakaiannya, anggota badannya dilipat, dan seluruh tubuh dibungkus kain wol putih seperti bola. Kemudian dibuat garis dengan tsampa dari sudut di mana tubuh itu terbaring menuju ke pintu keluar rumah. Anggota keluarga memanggul jenazah keluar rumah lewat garis putih itu sebagai tanda penghormatan. Di pintu keluar jenazah diserahkan kepada pengangkut profesional. Orang yang seumur dengan yang meninggal mengikuti jenazah dengan sapu dan bakul yang sudah rusak untuk membersihkan tsampa itu. Tsampa, sapu, dan batu bata yang digunakan sebagai alas jenazah dimasukkan ke dalam bakul mengikuti jenazah dan dibuang di perempatan jalan.

Pagi itu kerabat dan keluarga mengikuti jenazah dengan membawa dupa (hio) sampai perempatan jalan, lalu kembali. Hanya satu dua yang ikut sampai tempat pemakaman. Sampai di tempat "pemakaman udara", jenazah ditaruh di atas dataran berbatu. Seonggokan daun dan dupa tsampa dibakar sampai asapnya melambung tinggi untuk mengundang "makhluk suci".

Pembawa keranda kemudian mengiris pembungkus tubuh bagian belakang. Kalau yang meninggal biksu, guratan itu dibuat dalam bentuk simbol keagamaan. Kemudian perutnya dibuka dan isi perutnya dikeluarkan, dagingnya disayat dari tulang, dan kepalanya juga dikuliti dan dilepaskan dari tubuh. Setelah diiris-iris, disisihkan, kemudian tulang dihancurkan dan dicampur dengan tsampa dan dibuat bulatan. Burung mitos yang akan memakan jenazah mulai mendapat sajian bola tulang dan kemudian bola daging. Tulang yang tersisa dibakar dan abunya disebarkan mengikuti embusan angin.

Tujuan pemakaman celestial ialah supaya seluruh tubuh hilang dan roh bisa masuk surga dengan mudah. Selesai pemakaman, wakil dari keluarga menyajikan barley beer dan daging kepada pengurus pemakaman sebagai tanda terima kasih.

Sekalipun sebuah ritus suci dan terhormat, upacara pemakaman itu terasa sadistis dan mengerikan bagi yang tidak pernah mendengarnya. Tapi itu memang bagian tak terpisahkan dari kunjungan ke Tibet, terutama Sera Monastery yang cukup mengesankan. Barulah pada subuh keesokan harinya, kami siap-siap terbang kembali ke Chengdu. Lagi-lagi kami akan naik bus selama dua jam, namun kali ini mungkin lebih siap. Tak perlu buang air di semak-semak segala.

Sumber gambar:
wikipedia.org
dalailama.com

Sumber: Intisari 2000

Posting Komentar untuk "Berkunjung ke Makam Dalai Lama"