Periode Arkeologi Islam di Indonesia
Periode Arkeologi Islam di Indonesia |
Periode Arkeologi Islam di Indonesia
Periode Awal Islam: 1300-1600
Periode Arkeologi Islam di Indonesia - Islam pertama terpancang adalah di Sumatera paling utara pada akhir abad ke-13. Dari Pasai, Sumatera Utara, Islam menyebar ke pelabuhan-pelabuhan lain di Indonesia, Semenanjung Malaya, dan Filipina Selatan. Pada akhir abad ke-14 Islam telah merangkul pemeluk baru ( mualaf ) sejauh timur Trowulan di Jawa Timur. Konversi agama ( pertobatan ) penguasa Malaka pada awal abad ke-15 berpengaruh signifikan dalam mempopulerkan agama Islam di banyak kota pelabuhan di sepanjang jalur perdagangan yang mengarah ke sumber rempah-rempah di Maluku jauh.
Ketika Portugis tiba pada tahun 1509, Islam sebagian besar masih merupakan agama minoritas, terbatas pada populasi pedagang dari kantong-kantong di pelabuhan perdagangan. Ekspansi utama Islam terjadi pada abad ke-16, ketika agama Nabi Muhammad ini secara bertahap menjadi populer di kalangan penduduk desa agraris di pedalaman Jawa, Sumatera, dan pulau-pulau lainnya. Proses konversi bukanlah peristiwa tunggal dengan penyebab tunggal, tetapi serangkaian peristiwa yang dipengaruhi oleh faktor-faktor lokal.
Dalam beberapa contoh keputusan penguasa untuk pindah agama, segera diikuti sebagai hal yang biasa oleh semua rakyatnya. Sedang di bagian negara lain proporsi populasi yang lebih besar tampaknya telah lebih dulu dikonversi, baru kemudian diikuti oleh penguasa mereka yang mungkin dapat dibaca sebagai bermotif politik. Agen pembawa agama yang berbeda-beda terlibat di berbagai bagian Indonesia: kadang-kadang misionaris yang juga pedagang keliling dari keturunan asing atau campuran, atau para prajurit penakluk, atau juga guru-guru yang karismatik.
Sekolah Islam yang berbeda populer di daerah-daerah yang berbeda. Sekte Syi'ah melakukan syiar konversi agama di beberapa daerah, dan jejak aliran mistik yang dikenal sebagai Darwis ini masih terlihat di beberapa wilayah Indonesia. Secara umum, bentuk-bentuk Islam yang paling diterima umumnya beraliran sufisme. Kelompok orang yang dipengaruhi aliran sufisme dapat dibagi menjadi dua kelompok: 'ortodoksi mistik' dan varian yang kurang ortodoks. Islam memperkenalkan istilah-istilah baru ke dalam bahasa Indonesia, dan simbol-simbol baru ke dalam arsitektur dan seni. Namun, penyebaran Islam ini disertai dengan proses Indonesianisasi yang sama seperti adopsi ciri-ciri Asia Selatan 1.000 tahun sebelumnya.
Penyebaran Islam sering dikorelasikan dengan peningkatan aktivitas komersial. Islam memuat banyak ketentuan yang berhubungan dengan perdagangan. Integrasi Islam ke dalam kehidupan sehari-hari merupakan proses yang sedang berlangsung di Indonesia saat ini. Sebagai negara Islam berpenduduk terbesar di dunia, studi tentang perjalanan sejarah Indonesia menuju Islam dan evolusinya di sana patut mendapat perhatian lebih dari yang diterima dari para sarjana.
Masjid dan Makam Era Awal
Ketika unsur-unsur budaya Islam datang, mengakar, dan menyebar di Indonesia, mereka menciptakan budaya yang ideologinya mengambil dari Al-Qur'an dan Hadits, tetapi dalam bentuk fisik menunjukkan kesinambungan dengan ciri-ciri budaya pra-Islam. Perubahan ideologi utama ini tetap melibatkan status hubungan manusia dan Tuhan. Kesinambungan yang paling abadi menyangkut sifat elitis masyarakat asli Indonesia, di mana keraton tetap menjadi titik pusat referensi budaya, dan kaum bangsawan tetap menjadi sumber utama penawaran dan permintaan kesenian yang bernilai tinggi.
Perlindungan Kerajaan
Selain berfungsi sebagai pusat kekuatan sosial-politik dan ekonomi, keraton juga menjadi payung bagi berkembangnya bidang keilmuan lain semacam filsafat, pendidikan, dan ilmu pengetahuan. Arsitektur Islam memberikan bentuk-bentuk yang memuliakan istana para sultan, dan menawarkan bentuk-bentuk baru untuk struktur umum dan keagamaan, taman, dan makam. Seni tulis kaligrafi berkembang dalam banyak gaya, disesuaikan dengan berbagai media termasuk batu, kaca, kulit, bambu, daun lontar, tekstil, hingga kayu.
Seniman Indonesia mengabstraksi banyak konsep Islam dari matriks Arab mereka, dan menyesuaikannya dengan konteks lokal Indonesia. Adaptasi ini terlihat di seluruh wilayah Aceh hingga Kepulauan Maluku. Dalam kaligrafi misalnya, orang Indonesia menciptakan penyamaran bentuk antropomorfik dan zoomorfik ( bentuk abstrak dari manusia atau hewan ), sehingga menghindari pelanggaran terhadap larangan dalam Islam seperti menggambarkan makhluk hidup.
Masjid
Adaptasi lain terlihat pada pembangunan masjid-masjid Indonesia dengan denah persegi, atap berjenjang, dan tanpa menara. Masjid-masjid tertua yang masih ada, seperti masjid di Demak, Sendang Duwur, Cirebon, dan Banten, memiliki unsur-unsur seperti itu, serta unsur yang lain termasuk kolam di sekitar serambi, atau pendopo yang menempel di pintu masuk, tempat para jamaah sering berkumpul sebelum dan sesudah sholat untuk bersosial.
Kebiasaan Indonesia lainnya mempengaruhibentuk mihrab atau penanda di dinding yang menunjukkan arah Mekah; mihrab menjadi tempat seperti gua yang cukup besar untuk seseorang duduk di dalam dan bermeditasi, seperti pertapa pertapa zaman pra-Islam. Dan mihrab kadang-kadang dibingkai dengan desain yang mengingatkan pada ornamen kala-makara dari ceruk dan pintu kuil masa sebelumnya. Masjid-masjid dan makam-makam sering kali dikelilingi tembok dengan satu atau lebih pintu gerbang dalam bentuk candi bentar atau paduraksa, lagi-lagi masih mewarisi bentuk seperti candi.
Masjid di Kudus menarik karena menggabungkan struktur bata tinggi yang mungkin dirancang sebagai kuil pra-Islam, tetapi disesuaikan untuk digunakan sebagai menara tempat genderang dipukul untuk mengumumkan bahwa adzan akan segera dimulai. Menara diatur dengan piring porselen mungkin meniru dekorasi ubin Islam klasik.
Penggunaan ubin dekoratif pada eksterior masjid dan kompleks makam Indonesia mungkin telah dipinjam dari praktik serupa yang digunakan untuk struktur Islam di wilayah Timur Dekat, dan di Asia Selatan dan Tengah. Namun, ada juga beberapa bukti bahwa penggunaan ubin semacam itu sudah dikenal di Indonesia pra-Islam. Ubin Vietnam biru dan putih dengan berbagai bentuk, yang berasal dari abad ke-15, menghiasi dinding luar masjid di Demak yang menghadap ke serambi.
Menurut Babad Tanah Jawi, masjid di Demak dibangun oleh pengrajin dari Majapahit yang pindah ke sana setelah kerajaan Hindu menyerah pada pasukan muslim dari kerajaan pelabuhan Demak. Babad Tanah Jawi adalah kronik tradisional yang tidak selalu dapat dipahami secara harfiah, tetapi para arkeolog telah menemukan pecahan ubin serupa di situs ibukota Majapahit di Trowulan. Tidak diketahui apakah hiasan itu digunakan untuk menghias bangunan suci atau bangunan sekuler di sana, tetapi ada kemungkinan bahwa hiasan itu menghiasi tempat tinggal bangsawan dengan cara yang mirip dengan penggunaan ubin Belanda di istana Indonesia kemudian. Piring porselen juga telah digunakan untuk menghias dinding beberapa kuil Bali.
Masjid-masjid Demak, Cirebon, Banten dan berbagai masjid era awal di Indonesia lainnya menggabungkan empat pilar utama yang dikenal sebagai soko guru. Pilar-pilar besar ini diperlukan untuk menopang atap bertingkat beberapa kuil Bali. Atap-atap ini disebut meru, sebagai simbol gunung pusat alam semesta dan rumah bagi para dewa dalam mitologi Hindu dan Buddha.
Makam
Batu nisan muslim tertua di Indonesia yang kita ketahui berangka tahun 475 H (1082 M) ditemukan di Leran, Gresik, sebelah barat Surabaya. Orang yang dimakamkan di sana adalah seorang wanita bernama Fatimah binti Maimun bin Habatallah; tidak ada lagi yang diketahui tentang dia. Dia mungkin bukan keturunan Indonesia. Di Aceh, Sumatera, batu nisan tertua yang diketahui dimiliki oleh Malik al-Salih, seorang sultan yang meninggal pada tahun 1326.
Pada 1368 batu nisan Islam dipahat di ibu kota Majapahit. Terdapat contoh unik di makam di Tralaya yang menunjukkan ayat-ayat Islam dalam tulisan Arab di satu sisi dan lambang matahari Majapahit, serta motif lainnya dengan tanggal dalam angka dan tahun Jawa di sisi lain.
Kuburan diberi bentuk arsitektur dan dihias dengan motif-motif yang dahulu dikaitkan dengan candi. Makam para sultan dan pendakwah muslim masa awal diberi perlakuan khusus dan menjadi situs ziarah di mana orang-orang percaya bahwa mereka dapat meminta restu dalam urusan duniawi mereka. Makam-makam ini telah sering dibangun kembali oleh para pemujanya, sehingga elemen aslinya terkadang sulit untuk direkonstruksi.
Beberapa cendekiawan berpendapat bahwa keberadaan bentuk mistik Islam memfasilitasi penetrasi agama baru ini ke dalam budaya Hindu-Budha sebelumnya di nusantara. Praktik meditasi di kuburan tampaknya merupakan kelanjutan dari praktik pemujaan pra-Islam di kuil-kuil yang berisi patung-patung almarhum bangsawan yang diperingati sebagai dewa Hindu-Budha.
Namun, para sarjana ( akademisi ) sekarang percaya bahwa ziarah ke makam tidak berasal dari sistem kepercayaan yang lebih tua, melainkan menandai praktik baru yang hanya memiliki hubungan tidak langsung dengan kebiasaan sebelumnya. Kelompok sufi dan Syiah di negara lain, termasuk India, Pakistan, Iran, Irak, dan bahkan Arab Saudi, melakukan ziarah serupa. Pada masa Indonesia pra-Islam tidak ada kuburan yang dipuja. Pemakaman tidak cukup umum dilakukan, dan orang mati sebagian besar dikremasi dan abunya dibuang ke laut atau ke sungai. Lebih jauh lagi, gagasan bahwa kepribadian individu tetap ada setelah kematian tampaknya tidak umum dalam pemikiran Indonesia pra-Islam; sebaliknya doktrin reuni jiwa ( penyatuan ) dengan kesadaran yang lebih tinggi setelah kematian tampaknya telah menjadi bentuk kepercayaan standar.
Ziarah ke Situs Makam
Beberapa situs ziarah terpenting bagi umat Islam Jawa adalah makam Wali Songo. Inilah 'Sembilan Orang Suci' yang secara luas dianggap telah memperkenalkan Islam ke pulau Jawa. Angka sembilan secara numerologis signifikan bagi orang Jawa, tetapi ada perbedaan pendapat lokal mengenai komposisi yang tepat dari kelompok sembilan. Dari para wali yang dapat kita telusuri melalui sumber-sumber sejarah, sebagian besar hidup pada abad ke-16. Asal-usul mereka tidak jelas; legenda memberikan berbagai cerita tentang nenek moyang mereka. Individu yang sama dalam legenda yang berbeda dapat digambarkan sebagai keturunan Arab, India, Indonesia, atau bahkan Cina, atau beberapa kombinasi di atas.
Dari situs-situs yang terkait dengan Wali Songo ini, salah satu yang terpenting adalah makam Sunan Gunung Jati, tepat di luar Cirebon, Jawa Barat. Kompleks makam wali lainnya yang banyak dikunjungi adalah Sunan Kudus, Ratu Kalinyamat di Mantingan, dekat Jepara, Sunan Muria di Gunung Muria, Sunan Bonang di Tuban, dan Sunan Giri di Gresik, dekat Surabaya. Kompleks makam sering terkenal dengan dekorasi ukiran batu atau kayu yang rumit; ukiran kayu khususnya sangat menarik, karena mereka mungkin mewakili contoh tertua dari bentuk seni ini yang diawetkan di Indonesia. Belum ada studi rinci tentang mereka. Banyak orang Indonesia yang masih berziarah ke makam-makam ini untuk bermeditasi, terutama pada tanggal-tanggal penting dalam penanggalan Islam.
Aspek sejarah yang paling penting dari kepercayaan Wali Songo bukanlah identitas yang tepat dari Sembilan Orang Suci ini, sebaliknya informasi penting yang dapat digali dari kisah-kisah ini adalah bahwa proses konversi agama Islam dikaitkan dengan tokoh-tokoh ustadz keliling yang kadang-kadang menghidupi diri mereka sendiri dengan berdagang. Kisah-kisah kehidupan orang-orang suci ini (dan juga wanita) menunjukkan bahwa pantai Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Semenanjung Malaya dihubungkan oleh keberadaan masyarakat perkotaan kosmopolitan, di mana perdagangan , pendidikan, sastra, dan agama adalah bidang yang penting dan terkait.
Kota Islam Awal dan Kehidupan Komersial
Kebangkitan dan perluasan kerajaan Mongol pada abad ke-13 memiliki dampak yang luas. Rute perdagangan baru dibuka melalui kepulauan Melayu dan bersamaa dengan meningkatnya perdagangan tersebut maka kota pun mengalami pengembangan dan perluasan.
Pedagang dan Rute Perdagangan Baru
Mungkin di Asia Tengah, wilayah lain dari Dunia Kuno berada, seperti Indonesia, di persimpangan banyak budaya, di mana kita harus mencari penyebab perubahan besar yang mempengaruhi masyarakat Asia Tenggara mulai abad ke-13. Sampai saat itu pertukaran antara Timur Jauh dan Barat Jauh sebagian besar dilakukan melalui darat, di sepanjang 'Jalur Sutera' yang dilalui Marco Polo untuk mencapai Cina pada tahun 1275. Yang pasti, jalur laut melalui Samudera Hindia memenuhi fungsi paralel yang mendorong 'Indianisasi' progresif pada daerah-daerah tertentu di Indocina dan Insulinde ( kepulauan Indonesia , dan memungkinkan penyebaran tulisan dan agama Buddha ke arah timur, tetapi rute ini belum pernah mencapai popularitas yang sama layaknya jalur sutera.
Pada abad ke-13, Asia Tengah yang terutama merupakan wilayah yang dilalui para pelancong untuk mencapai tujuan lain, menjadi penggerak utama. Di zona ini dan di bawah dorongan bangsa Mongol lah muncul 'sistem dunia' yang bertahan selama beberapa dekade dan mencakup sebagian besar Eurasia. Tekanan Sino-Mongol ( orang cina etnis Mongol ) pada tahun-tahun terakhir abad ke-13 menggerakkan serangkaian operasi militer melawan Pagan, melawan Vietnam dan Champa, dan akhirnya, melawan Jawa Timur.
Badai berlalu agak cepat, tetapi beban di wilayah Utara terus terasa. Orang Cina dari Fujian dan Guangdong mulai beremigrasi, membentuk komunitas 'pendatang' di Asia Tenggara, yang memainkan peran ekonomi yang semakin penting. Zhou Daguan menceritakan kepada kita tentang komunitas Tionghoa di Kamboja menjelang akhir abad ke-13, dan Ma Huan menjelaskan beberapa di pantai utara Jawa pada abad ke-15.
Tatanan Mongol, yang sekaligus menggoyahkan negara-negara Eropa, India, dan Timur Tengah,tidak bertahan lama. Persaingan yang lahir selama abad ke-14 antara konfederasi Turko-Mongol ( negara penerus Mongol yang mengadopsi rumpun bahasa Turki ) menghambat lalu lintas karavan kuno, dan rute melalui Samudera Hindia akibatnya dianggap lebih penting. Perdagangan ini terutama dalam komoditi rempah-rempah, ditambah dengan produk-produk lain dari hampir semua area Timur Jauh. Dalam kata lain, ini adalah perdagangan Muslim yang dilengkapi dengan orang Kristen. Abad ke-14 menjadi saksi kunjungan khadi Maroko Ibnu Batutah ke Indonesia, yang disebut di Pasai selama perjalanannya dari India ke Cina, dan Franciscan Italia Odoric de Pordenone, yang mengunjungi pulau Jawa.
Dalam situasi baru seperti ini, kota pelabuhan seperti Barus, Kota Cina, Sriwijaya, dan Banten Girang bereaksi dengan cara yang luar biasa, memainkan peran sebagai stasiun relai, melengkapi produk-produk manufaktur dari India dan Cina dengan emas dulangan sungai dan sumber daya hutan. Sekarang pelabuhan-pelabuhan nusantara mengambil peran baru, yaitu produsen barang-barang yang aktif untuk perdagangan.
Rute maritim baru secara bertahap muncul sejajar dengan rute yang secara tradisional mengarah ke pelabuhan Sumatera atau Jawa dan kemudian ke Cina, berhenti di Champa dan Hainan. Rute baru ini memungkinkan integrasi produsen cengkeh dan pala Maluku, dan semua pulau di 'Timur Besar' ke dalam jaringan komersial yang lebih besar. Di sepanjang rute baru menuju Kanton atau Quanzhou ini, muncul pelabuhan-pelabuhan baru seperti Brunei dan Manila.
Pengetahuan yang dimiliki orang Indonesia barat tentang bagian timur kepulauan mereka bertambah: daftar Jawa 1365 memberikan serangkaian toponim yang sesuai dengan pulau-pulau (atau pelabuhan dagang) yang terletak di antara Kalimantan dan Irian Jaya. Ketika ekspedisi Magellan melewati kepulauan Maluku pada tahun 1521, bahasa lokal yang leksikon pertamanya disusun oleh ksatria Antonio Pigafetta adalah bentuk bahasa Melayu.
Perdagangan dan Urbanisasi
Meningkatnya aktivitas komersial juga disertai dengan perkembangan politik dan sosial yang nyata. Kerajaan besar Majapahit dibobol oleh para saudagar pesisir yang berangsur-angsur membebaskan diri dari kekuasaannya. Kota-kota Islam baru yang muncul: Pasai dan Tuban, Gresik dan Surabaya, Malaka, Demak, Cirebon, Banten dan Aceh, semuanya adalah kota pelabuhan.
Berbeda dengan kota-kota besar generasi sebelumnya, dengan tata letak yang diatur secara geometris menurut titik mata angin dan berpusat di sekitar kuil, gunung, atau istana kerajaan, kota-kota pelabuhan pada dasarnya berkembang dari fungsinya sebagai dermaga dan pasar. Tempat suci utama menjadi masjid, satu-satunya bangunan untuk menjaga orientasi yang tepat ( kiblat ) dengan mihrabnya mengarah ke Ka'bah, Mekah. Kecuali beberapa bangunan istana atau keagamaan langka yang telah dilestarikan, seperti di Banten dan Cirebon, saat ini hanya ada sedikit sisa dari kota-kota perdagangan tersebut.
Sebuah struktur sosial baru juga berkembang. Kepala negaranya adalah seorang sultan. Bangsawan lama yang telah membentuk dan membongkar kerangka masyarakat agraris digantikan oleh elit baru, 'orang baru', rakyat jelata, dan petualang kosmopolitan, yang arogansinya terkenal oleh Tome Pires ( seorang apoteker Portugis ), yang menggambarkan Jawa sekitar tahun 1515, dengan jelas dicatat (dalam nya Suma Oriental):
"Para penguasa pantai yang tidak merasa diri mereka sama mulianya dengan orang-orang pedalaman—karena belum lama mereka masih menjadi budak dan pedagang—tidak pernah berhenti mengudara dan menuntut rasa hormat seolah-olah mereka adalah penguasa alam semesta."
Kota-kota gerbang ini secara bersamaan mengembangkan pula festival kolektif, yang sekarang dirayakan menurut kalender muslim, yang dirancang untuk menyatukan populasi heterogen mereka di sekitar lingkungan sultan. Banyak sultan menjadi kaya dari perdagangan.
Sejarah Kedatangan Islam
Samudera Hindia terus berfungsi sebagai penghubung komersial serta budaya antara Indonesia dan negara-negara di barat. Dengan demikian Islam yang didirikan di Jazirah Arab oleh Nabi Muhammad pada abad ke-7 Masehi, ikut menyusul agama Hindu dan Budha masuk ke Nusantara. Pada akhir abad ke-20, sekitar 85% penduduk Indonesia menganggap diri mereka muslim. Di sebagian kalangan masyarakat Indonesia, Islam hanyalah salah satu unsur dalam sistem kepercayaan sinkretis yang juga mencakup konsep animisme dan Hindu-Budha. Sedang yang lain sangat berkomitmen terhadap iman.
Seperti halnya masuknya peradaban India, proses Islamisasi juga tidak jelas karena kurangnya catatan sejarah dan bukti arkeologis yang memadai. Nusantara tidak diserbu oleh orang luar dan dipaksa berpindah agama. Namun negara-negara yang telah masuk Islam sering mengobarkan perang melawan mereka yang menganut tradisi Hindu-Budha yang lebih tua. Akan tetapi, garis-garis agama tampaknya tidak tergambar dengan jelas dalam tata negara dan perang Jawa.
Selama berabad-abad, para pedagang dari pelabuhan Laut Arab dan samudera Hindia serta para mistikus dan tokoh sastra menyebarkan agama tersebut. Karena perdagangan lebih lazim di sepanjang pantai Sumatera, Jawa, dan kepulauan timur daripada di daerah pedalaman Jawa, tidak mengherankan bahwa Islamisasi berlangsung lebih cepat di daerah pertamanya daripada yang terakhir. Menurut sejarawan M.C. Ricklefs, legenda menggambarkan konversi agama penguasa ke Islam di wilayah pesisir Melayu sebagai "titik balik besar" yang ditandai dengan mukjizat ( termasuk keajaiban bersunat bagi mualaf ), pengakuan iman, dan pengadopsian nama Arab. Penulis sejarah Jawa cenderung melihatnya sebagai peristiwa yang kurang sentral dalam sejarah dinasti dan negara. Tetapi kronik Jawa menyebutkan peran para wali yang mengubah penguasa melalui penggunaan kekuatan gaib.
Tidak diragukan lagi, sejumlah kecil Muslim melakukan perjalanan dan tinggal di nusantara pada masa yang sangat awal. Catatan sejarah Dinasti Tang Cina (618-907) menceritakan tentang para pedagang Arab yang pasti pernah singgah di pelabuhan-pelabuhan Indonesia sepanjang perjalanan ke Guangzhou dan pelabuhan-pelabuhan Cina selatan lainnya. Namun konversi agama penguasa dan sejumlah besar masyarakat adat ke Islam tampaknya tidak dimulai sampai sekitar akhir abad ke-13.
Banyak daerah di Nusantara yang menolak penyebaran agama tersebut. Beberapa, seperti Ambon, menjadi Kristen oleh orang Eropa. Lainnya mempertahankan kekhasan mereka meskipun meskipun 'bertetangga' dengan Islam yang kuat. Ini termasuk kantong-kantong kecil wilayah di Jawa dan pulau Bali yang berdekatan, di mana kepercayaan animisme dan Hindu menciptakan kebudayaan yang berbeda dan lebih berwawasan ke dalam ( mawas diri ).
Bukti pertama yang dapat diandalkan tentang Islam sebagai kekuatan aktif di Nusantara datang dari pengelana Venesia, Marco Polo. Ia mendarat di Sumatera utara dalam perjalanan kembali ke Eropa dari Cina pada tahun 1292, ia menemukan sebuah kota Islam, Perlak, dikelilingi oleh tetangga non-Islam. Sebuah prasasti dari batu nisan bertanggal 1297 mengungkapkan bahwa penguasa pertama Samudera ( negara bagian Sumatera lainnya ) adalah seorang Muslim; musafir Arab Muhammad ibnu 'Abdullah ibnu Battuta mengunjungi kota yang sama pada 1345-46 dan menulis bahwa rajanya adalah seorang Sunni. Pada akhir abad ke-14, prasasti di Sumatera ditulis dengan huruf Arab daripada tulisan kuno asli atau berbasis India.
Ada juga kontak penting Cina dengan Jawa dan Sumatera selama periode ini. Antara tahun 1405 dan 1433, seorang pemimpin militer Muslim Cina, Kasim Agung Zheng He, ditugaskan oleh kaisar Dinasti Ming (1368-1643) untuk melakukan tujuh ekspedisi angkatan laut, masing-masing terdiri dari ratusan kapal dan awak yang berjumlah lebih dari 20.000 orang. Berbagai ekspedisi pergi dari Cina ke Asia Tenggara, Asia Selatan, Semenanjung Arab, dan Afrika Timur. Alih-alih perjalanan eksplorasi, ekspedisi ini mengikuti rute perdagangan yang sudah ada dan bersifat diplomatik serta membantu memperluas kontak di antara mereka dan memberikan informasi tentang daerah yang dikunjungi. Zheng menggunakan Jawa dan Sumatera sebagai perhentian, dan pada pelayaran pertamanya, menghancurkan armada bajak laut Cina yang berbasis di dekat Palembang di pantai utara Sumatera. Dia juga dikatakan telah menjalin komunikasi dengan Malaka di Semenanjung Malaya.
Dorongan utama proses Islamisasi didirong oleh Malaka, sebuah kota pelabuhan kaya yang mendominasi Selat Malaka dan menguasai sebagian besar perdagangan nusantara selama abad ke-15. Menurut legenda, Malaka didirikan pada tahun 1400 oleh seorang pangeran keturunan penguasa Sriwijaya yang melarikan diri dari Palembang setelah diserang oleh Majapahit. Awalnya seorang Hindu-Budha, pangeran ini masuk Islam dan mengambil nama Iskandar Syah. Di bawah kekuasaannya dan penerusnya, armada perdagangan Malaka membawa Islam ke wilayah pesisir nusantara. Menurut penulis sejarah Portugis Tomé Pires ( yang buku Suma Oriental-nya mungkin merupakan catatan terbaik Indonesia awal abad ke-16) sebagian besar negara bagian Sumatera adalah Muslim. Kerajaan yang populer dikenal sebagai Aceh, didirikan pada awal abad ke-16 di ujung barat Sumatera, adalah wilayah Islam yang kuat. Pada masa Pires, penguasa Minangkabau di Sumatera bagian tengah kerajaannya beragama Islam, tetapi rakyatnya tidak.
Di Indonesia bagian timur, proses Islamisasi berlangsung selama abad ke-16 dan ke-17, sering kali bersaing dengan dakwah agresif dari Portugis dan misionaris Kristen lainnya. Menurut Pires, negara pulau Ternate dan Tidore, di lepas pantai barat Halmahera di Maluku, memiliki sultan Muslim, dan pedagang Muslim telah menetap di Kepulauan Banda. Pada tahun 1605 penguasa Gowa di Sulawesi Selatan (Sulawesi) masuk Islam dan kemudian memaksakan Islam kepada penguasa tetangga. Misionaris Muslim dikirim dari pantai utara Jawa ke Lombok, Sulawesi, dan Kalimantan sampai akhir abad ke-17.
Karena kekunoan peradaban Jawa dan keterasingan hubungan dengan kerajaan yang paling kuat, proses Islamisasi di sana menjadi kompleks dan berlarut-larut. Penemuan batu nisan Muslim yang berasal dari abad ke-14 di dekat situs keraton Majapahit menunjukkan bahwa anggota elit masuk Islam sementara raja tetap menjadi penganut agama India. Fokus awal konversi agama adalah wilayah pesisir utara, yang dikenal sebagai Pasisir (bahasa Jawa untuk pantai). Dominasi perdagangan Malaka setelah tahun 1400 mendorong kehadiran Islam yang substansial di wilayah Pasisir, yang terletak strategis antara Malaka di barat dan Maluku di timur. Pedagang Muslim sangat banyak, meskipun peran mereka dalam konversi istana kerajaan tidak jelas. Negara pantai utara Gresik diperintah oleh salah satu dari Wali Songo. Selama abad ke-16, setelah Malaka tidak lagi menjadi pusat Islam usai ditaklukan oleh Portugis pada tahun 1511, jaringan perdagangan Melayu bergeser ke Johor dan Kalimantan barat laut.
Pada awal abad ke-17, negara paling kuat di Jawa Tengah adalah Mataram, yang para penguasanya menjalin hubungan persahabatan dengan negara-negara Pasisir, khususnya Gresik, dan menoleransi pendirian sekolah-sekolah Islam dan komunitas-komunitas di pedesaan. Toleransi mungkin dimotivasi oleh keinginan penguasa untuk menggunakan sekolah sebagai alat pengontrol penduduk desa. Akan tetapi, kelompok-kelompok Muslim di pedalaman seringkali saling bermusuhan, dan terkadang mengalami persekusi. Penguasa Mataram terbesar, Sultan Agung ( 1613-1646 ), berperang melawan berbagai kerajaan Jawa dan mengalahkan sebanyak yang dia bisa. Tanpa menghilangkan atribut Hindu-Buddha atau animisme Jawa sebagai raja, ia meminta dan menerima izin dari Mekah untuk mengambil gelar sultan dalam Islam pada tahun 1641.
Para sarjana telah berspekulasi tentang mengapa Islam gagal untuk mendapatkan banyak pemeluk baru sampai setelah abad ke-13, meskipun pedagang Muslim telah tiba di pulau-pulau jauh lebih awal. Beberapa orang berpendapat bahwa tradisi Sufi—cabang mistik Islam yang menekankan realitas tertinggi Tuhan dan ilusi kegidupan dunia—mungkin telah dibawa ke wilayah-wilayah lain secara lebih luas saat ini. Mengingat unsur-unsur mistik dari tasawuf dan kepercayaan pribumi, mungkin lebih menarik bagi orang Indonesia daripada versi Islam sebelumnya; lebih keras dan terikat hukum.
Menarik bukan, mengetahui beberapa sejarah tentang Periode Arkeologi Islam di Indonesia. Masih banyak hal yang belum dituliskan. Pada kesempatan berikutnya kita akan kembali mengulas mengenai proses konversi agama Islam di Indonesia dengan bukti lainnya.
Silakan berikan komentar bila ada yang perlu ditambahkan. Atau juga berikanlah ralat jika dirasa ada yang keliru.
Semoga bermanfaat.
*tulisan ini disarikan dari berbagai macam sumber.
Posting Komentar untuk "Periode Arkeologi Islam di Indonesia"